Muhammad
diangkat Allah menjadi Nabi di usia 40 tahun.
Namun sebelumnya ia telah melakukan ibadah dalam bentuk merenung,
berpikir dan berijtihad tentang kekuasaan dan keagungan Sang Pencipta. Tentu saja hanya sebatas yang dapat dijangkau
oleh akal pikirannya.
Telah menjadi kebiasaan orang
Arab pada masa itu, pada masa itu, para ahli pikir seringkali melakukan khalwat
setiap tahun atau pada waktu-waktu tertentu.
Berkhalwat adalah menjauhkan diri dari khalayak ramai dan merenung di
sebuah tempat yang demikian itu disebut tahannuts (bersemedi).
Muhammad seringkali bertahannuts
atau berkhalwat untuk beribadah, yakni dengan perenungan, tafakur dan
berijtihad. Tempat ang dipilihnya adalah
sebuah goa di wilayah gunung Hira. Orang
lebih suka menyebutnya Goa Hira saja.
Seperti biasanya Muhammad tak
pernah menyia-nyiakan kesempatan di bulan Ramadhan. Setiap bulan itu, ia menghabiskan waktunya
untuk bertahannuts di goa tersebut.
Tinggal di sana begitu lama dengan bekal yang tidak terlalu banyak. Dalam kesendirian bebas dari keramaian, ia
tekun merenung dan beribadah. Ini
dilakkukan semata-mata untuk mencari kebenaran.
Kalau sudah berkhalwat seperti itu, ia benar-benar lupa akan dirinya
sendiri, lupa makan dan lupa segala nafsu serta keinginan. Bahkan tak lagi tertarik dengan duniawi.
Mengapa ia melakukan khalwat
seperti itu? Muhammad sadar bahwa kebenaran yang didambakan tidak dapat
ditemukan dalam cerita-cerita yang disampaikan kaum pendeta atau ditulis dari
tangan para rahib. Baginya, kebenaran hanya dapat dicapai di alam wujud dan
seisinya, seperti menyaksikan langit dan bintang gemintang di sana, bulan dan
matahari berputar teratur. Di mana pada
saat-saat tertentu tampak hanya akan didapat dari balik kebesaran ciptaan
itu. Ia harus mencari rahasia-rahasia di
balik alam yang disaksikannya, direnungkan dan dipikirkannya.
Berkhalwat sudah menjadi bagian
hidup Muhammad. Dalam keheningan ia
mencari-cari jalan hidayat. Di dalam
merenung ia mencari jalan untuk menemukan kebahagiaan bagi semua orang, yakni
untuk mengeluarkan mereka dari kebathilan berlarut-larut. Semua itu dilakukannya bukan untuk menjadikan
dirinya sebagai dukun atau ahli nujum.
Jika bulan Ramadhan telah
berlalu, ia kembali ke tengah-tengah keluarganya untuk melanjukan rutinitas
kehidupannya. Ternyata kebiasaan
berkhalwat semakin membuat akhlak Muhammad menjadi lemah lembut dan
meningkatkan cinta kasihnya kepada sesama, lebih-lebih kepada yang lemah. Kerendahan hati Muhammad membuat orang lain
jadi terpukau. Maka tidaklah heran jika
masyarakat Mekkah menghormatinya.
Meskipun Muhammad termasuk
keluarga terhormat dan kaya –karena beristri khadijah- tetapi sama sekali ia
tidaklah sombong. Ia tidak membatasi
diri dalam pergaulan. Terhadap orang
kecil dan miskin, ia mau bertegur sapa.
Biasanya, ia mendahului mengucapkan salam pada setiap orang berpapasan
jalan dengannya. Kepada yang tua ia
memberi hormat dan santun, kepada yang muda dan kecil ia lembut berkasih
sayang.
Muhammad telah mencapai usia 14
tahun. Jiwanya cukup matang. Ibarat padi, semakin tua semakin berisi,
semakin berisi semakin merunduk. Itulah
Muhammad.
Diusia inilah Allah mengetahui
bahwa Muhammad telah siap dan sanggup mengemban tugas-tugas yang berat dan
mulia.
Suatu
ketika datanglah bulan Ramadhan kembali.
Seperti biasanya, Muhammad meninggalkan keluarganya. Ia berbekal seadanya menuju Goa Hira untuk
berkhalwat.
Kakinya terus melangkah, meuju ke
luar kota Mekkah ke arah timur. Kurang
lebih tiga mil dari Mekkah terdapat sebuah gunung. Di gunung itu terdapat sebuah goa. Dari jauh ia telah menatapp gunung yang tegak
kokoh. Tak ada tanaman apa pun yang tumbuh di sana. Seluruh pemandangan yang tampak hanyalah bebatuan. Tempat itu jarang didatangi orang.
Untuk mencapai puncak bukit itu,
Muhammad harus menempuh perjalanan yang sulit. selama dua jam ia mendaki dengan susah payah. di puncak itu sangat sunyi. sunyi sekali. yang terdengar hanyalah desran angin, kadang-kadang senyap sama sekali.
Muhammad berdiri memndang alam sekitarnya. betapa agung sang pencipta yang menciptakan segala keindahan.